Rahasia Dibalik Konten Iklan Yang Berseliweran Di Lini Masa Media Sosial Anda

Ketika mulai membuka beranda atau linimasa media sosial, Anda akan kerap menjumpai sejumlah unggahan dari akun yang tidak kita ikuti untuk menawarkan produk tertentu. Jangan kesal dulu! produk tersebut disesuaikan dengan selera Anda, lho!

Hanung Muqiit
5 min readMay 26, 2022

Saat mulai membuka media sosial, sangat sering dijumpai promosi produk yang berseliweran di lini masa. Saat membuka cerita (story) atau unggahan (post) Instagram, tiba-tiba muncul cerita atau unggahan dari akun yang tidak diikuti yang menampilkan produk atau penawaran tertentu. Saat asyik menjelajahi beranda Twitter, tiba-tiba melintas cuitan penawaran produk atau kampanye isu tertentu. Ketika unggahan ataupun cuitan itu terlintas, pengguna media sosial mungkin secara tidak sadar akan membaca atau melihat secara utuh unggahan tersebut tanpa berpikir bahwa unggahan tersebut merupakan promosi karena dimunculkan seperti unggahan lainnya pada platform tersebut. Cara beriklan seperti ini dinamakan native advertising.

Menurut Kotler & Armstrong (2018), native advertising adalah konten iklan produk buatan sendiri atau orang lain, yang sengaja dibuat serupa dengan konten daring (web atau media sosial) lainnya. Dengan demikian, konten iklan akan terkesan seperti konten “native” atau konten yang biasa dibuat oleh kreator konten atau pengguna lain pada umumnya (yang bukan iklan). Native advertising juga biasa disebut sebagai sponsored content. Cara beriklan ini tidak hanya ada di media sosial namun juga media lain seperti mesin pencarian (Google) ataupun aplikasi media baru lainnya (Voorveld et al., 2018).

Mekanisme native advertising cukup simpel. Pertama-tama, pembuat iklan membuat konten di media sasaran iklan. Isi konten disesuaikan dengan strategi periklanan yang disusun sebelumnya. Pada tahap ini, pembuat iklan harus selektif memilih informasi yang akan disampaikan kepada publik untuk menghasilkan perhatian publik (brand awareness) yang baik. Setelah konten dibuat dan diunggah, pembuat iklan menggunakan fitur promosi berbayar yang disediakan platform tempat unggah konten. Untuk Instagram, fitur ini tersedia bagi akun bisnis dengan akses yang mudah. Untuk Facebook, dikenal fitur Facebook Ads yang juga dapat diintegrasikan dengan iklan yang ada di Instagram. Untuk Youtube dan Google, terdapat layanan Google Adsense. Pembuat iklan cukup mengisikan target pasar yang diharapkan, lama beriklan, dan jumlah kisaran jangkauan, kemudian akan muncul besaran biaya yang harus dibayarkan. Setelah pembayaran selesai, maka konten bersponsor akan didistribusikan kepada calon target pasar (Asosiasi Digital Marketing Indonesia, 2021).

Konten bersponsor yang lewat di beranda linimasa setiap orang akan berbeda beda, karena media tempat bersponsor menyesuaikan target pasar sesuai data pengguna dan algoritma (Mudge, 2016). Data pengguna didapatkan oleh platform pada saat registrasi atau pembuatan akun. Data yang digunakan antara lain umur, jenis kelamin, ataupun tempat tinggal. Dengan data ini, konten bersponsor akan secara spesifik muncul di lini masa orang dengan rentang usia, jenis kelamin, dan daerah tertentu yang sesuai target pasar yang dikehendaki pengiklan. Sementara algoritma didapatkan dari analisis komputasi pada konten-konten yang sering diakses oleh masing masing pengguna. Ketika seseorang sering mengakses ataupun berinteraksi dengan konten memasak, maka algoritma akan menyusun saran konten memasak lain disertai dengan iklan bersponsor tentang produk berjenama alat masak.

Mekanisme berbeda ditawarkan oleh mesin pencari seperti Google Search. Dilansir dari laman resmi Google (2021), Konten iklan akan muncul saat ada pencarian yang relevan dengan produk yang diiklankan. Saat seseorang sedang melakukan pencarian mengenai alat musik, mungkin pada hasil pencarian teratas akan muncul terlebih dahulu konten bersponsor yang mempromosikan alat musik. Baru kemudian dibawah konten bersponsor muncul laman atau konten lain yang relevan dengan kata kunci yang dicari. Ada kesamaan antara beriklan di media sosial maupun mesin pencari, yakni adanya keterangan konten bersponsor. Keterangan ini dimunculkan untuk memberi keterangan kepada pengguna platform agar tidak merasa aneh dengan kemunculan konten dari orang yang tidak diikuti.

Sebagai metode beriklan, native advertising menawarkan beberapa keunggulan. Lewat analisis yang disediakan oleh platform beriklan, pengiklan akan tahu jumlah pengeklikan konten dan jangkauan. Potensi calon pelanggan menjadi lebih tinggi karena sasaran iklan juga lebih jelas dan tepat sasaran dengan biaya yang lebih terjangkau. Untuk pengiklan di media sosial, cara beriklan ini meningkatkan pengikut akun pengiklan. Tidak hanya sebagai pemasaran produk atau layanan, native advertising juga merambah pada bidang kehumasan (public relation) dan jurnalisme. Pada bidang kehumasan, native advertising dapat menampakkan sikap jenama (brand attitude) dan kredibilitasnya (Sweetser et al., 2016). Pada bidang jurnalisme, konten artikel bersponsor mendobrak konten editorial tradisional (Schauster et al., 2016).

Namun native advertising tidak lepas dari beberapa kekurangan. Storytelling content tidak cocok untuk metode beriklan ini (Grigsby & Mellema, 2020).Hal itu dikarenakan konten bersponsor hanya muncul sekilas di linimasa publik, maka informasi harus lebih padat dan substansial. Sehingga beriklan dengan cara ini memerlukan kreativitas strategi penyajian iklan. Selain itu, kekurangan metode ini adalah adanya potensi iklan manipulatif yang menyebabkan efek bumerang bagi pelanggan (Lee et al., 2016). Manipulasi ini muncul ketika konten iklan menjadi yang teratas di hasil pencarian. Kondisi tersebut membuat pengguna akan merasa bahwa hasil pencarian tersebut merupakan hasil teratas atau terpopuler.

Kritik juga bermunculan saat intensitas konten bersponsor kurang terkendali. Ketika konten bersponsor terlalu sering muncul di linimasa, tentu akan mengganggu pengalaman pengguna platform tersebut (Yang & Gao, 2021). Terlebih jika iklan yang ditayangkan kurang sesuai dengan selera pengguna (yang sebenarnya bisa dideteksi oleh algoritma). Dalam interval yang tepat, kemunculan konten bersponsor akan dimaklumi karena tidak mengganggu akses informasi lain yang diharapkan pengguna (Campbell & Marks, 2015).

Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan dari native advertising, cara beriklan ini cukup efektif dalam menggaet brand awareness dari publik (Campbell & Marks, 2015). Metode ini cocok untuk beriklan di era digital. Teknologi digital telah menjadi akselerator bagi dunia pemasaran menjadi semakin personal dan terspesifikasi (Tania, 2021). Pemasaran digital dengan native advertising cocok dengan karakteristik generasi digital native. Digital native adalah generasi yang tumbuh/besar bersama teknologi digital. Sedangkan generasi yang tidak tumbuh bersama teknologi digital dan baru mulai belajar teknologi digital saat telah dewasa adalah digital immigrant (Brown, 2011).

Digital native merupakan sasaran pasar bagi strategi native advertising. Digital native sebagian besar merupakan generasi Z, walaupun tak sedikit pula generasi Y atau generasi milenial didalamnya. Artinya, digital native pada saat ini adalah orang dengan usia 8–39 tahun. Digital native memiliki karakteristik yang menunjang keberhasilan native advertising. Seperti namanya, Digital native selalu terhubung dengan dunia digital. Oleh karena itu, intensitas penggunaan media digital juga sangat tinggi. dengan semakin terintegrasinya teknologi, memudahkan analisis algoritma mengenai spesifikasi pengguna. Hal ini memudahkan pengiklan merengkuh target pasar yang spesifik dan potensial. Cara ini tentu lebih efektif dalam mencari pelanggan dan sangat cocok untuk UMKM atau perusahaan rintisan yang tidak punya banyak biaya untuk dibakar guna beriklan secara konvensional.

Populasi digital native saat ini juga mendominasi piramida penduduk Indonesia. Dilansir dari data sensus penduduk Indonesia terbaru (Badan Pusat Statistik, 2020), persentase generasi Y (milenial) mencapai 25,87% dan persentase generasi Z mencapai 27,94%. Sehingga mayoritas penghuni pasar makro Indonesia adalah digital native. Pangsa pasar yang besar ini menggiurkan untuk semua badan usaha. Berkaca pada yang ekspansi native advertising yang masif pada beberapa waktu belakangan dan generasi yang masih akan lama berganti, metode ini mungkin akan bertahan menjadi tren sampai beberapa waktu ke depan.

Pada akhirnya, rahasia dibalik cara beriklan ini adalah pemanfaatan algoritma untuk mempersonalisasi dan menspesifikasi iklan pada setiap individu. Penyajiannya pun tidak mengganggu pengalaman pengguna di media sosial karena tampilannya menyatu seperti unggahan lainnya. Dengan metode iklan ini, akan mempermudah perusahaan dalam merengkuh target pasar potensial. Namun, metode beriklan ini juga membutuhkan kreatifitas lebih agar bisa memikat dalam pandangan pertama. Selain itu, juga bentuk iklan ini berpotensi menimbulkan efek manipulatif kepada pengguna. Terlepas dari keunggulan dan kekurangannya, cara beriklan ini dinilai cukup efektif untuk menggaet target pasar dari generasi Z dan generasi Y.

Iklan terpesonalisasi berdasarkan selera Anda. Kalau iklannya aneh-aneh, berarti ada yang salah dengan algoritma Anda.

--

--