Pengen ke Luar Negeri

Apa yang kamu harapkan dari orang yang perginya paling jauh cuma ke Jakarta.

Hanung Muqiit
2 min readMay 28, 2022

Sepanjang hidupku, traveling paling jauh mungkin ke Jakarta doang. Kalau beda pulau, aku pernah ke Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Tanah Bumbu, kampung halaman ayahku. Itupun cuma dua kali seumur hidup.

Yak benar, aku belum pernah ke Bali. Setiap kali ada teman yang mungkin beda SMP atau SMA denganku membicarakan tentang study tour ke Bali, aku tidak bisa nimbrung. Beginilah nasib study tour SMP ke Jogja dan SMA ke Jakarta. Malah agak mewah ketika SD karena study tour ke Malang.

Entah bagaimana dulu bisa kepikiran menyebutkan hobi traveling sementara pengalaman travelingku sangat minim. Aku hanya berpendar di sekitaran pulau Jawa seperti Jogja,Surabaya, Semarang, Wonosobo, dan Jakarta. Bahkan ke Bandung aja belom pernah.

Bukan berarti aku tidak cinta Indonesia, tapi aku selalu berkeinginan untuk melihat sisi lain yang bukan berada di Tanah Air tercinta ini.

Aku ingin melihat Amerika Serikat, dengan hingar bingar kehidupannya yang begitu liberal dan kapitalis.

Aku ingin menilik Eropa, dengan nuansa romantismenya dan pesona bangunan klasiknya.

Aku ingin singgah ke Jepang dan Korea, menyaksikan orang timur yang maju dan beradab.

Aku ingin bertamu ke Jazirah Arab, mengendus udara tandus dan menyibak hamparan gurun pasir.

Aku ingin berkelana ke Afrika, menjajaki rimba sabana dengan flora fauna eksotisnya.

Pokoknya aku pengen ke luar negeri.

Tapi gimana caranya?

ya itu pertanyaan besarku. Aku akan mencoba melihat posibilitasnya dari berbagai sisi

Pertama, pakai dana pribadi. Kayaknya kemungkinan ini agak kecil. Satu-satunya orang yang bekerja di keluargaku hanyalah Ibuku yang harus menghidupi suami dan anak-anaknya. Meskipun beliau seorang PNS dengan golongan cukup tinggi, namun gaji bulanannya sangat pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan kami berlima. Sehingga liburan menggunakan dana keluarga sangat tidak mungkin.

Kedua, Pertukaran pelajar. Mungkin orang mengira otakku lumayan encer dan membuka kesempatan untuk ikut pertukaran pelajar. Eits, tunggu dulu. Pertukaran pelajar tidak hanya sekedar membutuhkan otak encer namun juga penguasaan bahasa Asing. Sejauh ini aku hanya fluent bahasa Indonesia dan Jawa. selain dua itu, aku akui masih kesulitan. Aku belajar Bahasa Inggris sejak SD dan mendapat nilai cukup oke namun belum fasih hingga saat ini. Aku belajar bahasa Korea hanya dari drakor. Oiya satu lagi, aku bisa bahasa Arab tapi sangat terbatas karena dulu pas SD dan SMP (di pondok) ada pelajarannya.

Ketiga, prestasi. Ini juga sulit karena sejauh aku ikut lomba, paling mentok hanya menjebol gelanggang lomba tingkat Nasional dan tidak pernah tembus Internasional. Agak pesimis, skip.

Keempat, panggilan seni. Ini adalah posibilitas yang sangat tinggi. Karena aku menggeluti dunia seni Jawa seperti karawitan, barangkali ada bule yang ingin mengundang aku untuk pentas di luar sana. Tapi diantara sekian banyak seniman yang ahli kenapa harus aku? itulah problemnya.

Kelima, rejeki nomplok. Aku pernah membayangkan suatu hari temanku gabut dan aku diajak ke luar negeri dan dibayari. Aku juga pernah bermimpi kalau ada orang kaya yang hartanya sisa dan bingung mau dikemanain memanggilku untuk menghabiskannya. Tapi bayangan itu sebaiknya tetap di benakku saja karena kayaknya ga mungkin hal yang seperti itu kejadian.

Aku tak ingin meninggalkan ibu pertiwi, oleh karena itu aku akan selalu merasa bersamanya jika sedang di negeri orang.

--

--